top of page

Abstracts

Certification or Certainty?

Impacts of 4C Certification on Coffee Smallholder Livelihoods
by Dr. Russell Toth, University of Sydney

​

One of the main objectives of the self-regulation of the international coffee industry through voluntary sustainability standards such as Rainforest Alliance, Utz, and the Common Code for the Coffee Community (4C) is to improve the livelihoods and market access of smallholder coffee producers. We evaluate  the impacts of a sustainability program based around the most common global standard, 4C, on smallholder livelihoods in Semendo region, Muara Enim district, South Sumatra, Indonesia, a remote setting where coffee is the dominant source of cash income. The program is implemented by an international coffee exporter, and hence combines training, certification premium payments based on audited compliance with 4C, and access to a global coffee value chain. We use a cross-sectional survey of nearly 1,600 smallholder households to identify the impacts of the program on farm and household outcomes. Our results suggest that within the narrow lens of coffee production, the program has modest impact, at best. However, overall household income rises significantly, and we see improvement on a measure of poverty. The program seems to induce households to shift labour effort from their coffee plots into other, potentially higher earning, agricultural work. We hypothesize that this due to the access to the global coffee value chain, as this enhanced market access brings about a reduction in cash income risk, and the development of social capital as a result of program enrolment, which together allow households to diversify into higher-earning (but perhaps risker) economic activities.

Sertifikasi atau Kepastian?

Pengaruh Sertifikasi 4C pada Kehidupan Petani Penggarap Kopi

by Dr. Russell Toth, University of Sydney

​

Salah satu tujuan dari peraturan diri industri kopi internasional melalui standar keberlanjutan sukarela seperti Rainforest Alliance, Utz, dan Common Code for the Coffee Community (4C)—peraturan umum untuk komunitas petani kopi—adalah meningkatkan kehidupan dan akses pasar para petani penggarap kopi. Kami mengevaluasi dampak program keberlanjutan yang berdasarkan standar dunia yang paling umum, 4C, terhadap kehidupan para petani penggarap di daerah Semendo, Muara Enim, Sumatra Selatan, Indonesia, daerah terpencil tempat sumber utama pendapatan tunainya. Program tersebut dilaksanakan oleh eksportir kopi internasional, karenanya pembayaran premium sertifikasi yang berdasarkan penyesuaian yang diaudit dengan 4C, akses ke rantai  nilai kopi dunia, memadukan pelatihan. Kami menggunakan survei lintas-bagian dari hampir 1600 rumah tangga petani penggarap untuk mendapatkan dampak-dampak programnya terhadap pendapatan pertanian dan rumah tangga. Temuan kami menunjukkan bahwa dalam lensa sempit produksi kopi, programnya menghasilkan dampak baik secara maksimal. Tetapi, keseluruhan pendapatan rumah tangga meningkat signifikan, dan kami melihat peningkatan di ukuran kemiskinan. Tampaknya program tersebut tersebut mendorong mereka untuk mengalihkan usaha kerjanya dari lahan kopinya ke lainnya, dengan potensi pendapatan tinggi, di kerja tani. Kami berhipotesis bahwa hal ini disebabkan akses ke rantai nilai kopi dunia, sebagaimana akses pasar yang meningkat ini mengurangi resiko pendapatan tunai, dan perkembangan modal sosial sebagai hasil keikutsertaan program, yang keseluruhannya memungkinkan rumah tangga mendiversifikasi kegiatan ekonomi yang berpendapatan lebih tinggi  (tapi mungkin yang lebih beresiko).

Abstract 1

Indonesia Biomass: Reuse

by Stephanie O'Gara, Fulbright & Columbia University

 

Indonesia, the world’s largest archipelago nation with over 260 million people spread over 17,000 islands, presents an interesting challenge for environmental specialists. As Indonesia develops economically, its citizens enjoy greater access to electricity and modern transportation, but the environmental ramifications have been severe. Over the past decade, Indonesia’s greenhouse gas emissions have more than doubled, and Indonesia’s major cities consistently rank as some of the world’s worst for air quality. Lower income Indonesians are particularly vulnerable to these environmental impacts as many rely on stable rain cycles for their crop production and frequently burn their fields, releasing harmful gases, after harvest. One way to lessen greenhouse gas emissions, curb air pollution, and empower rural communities is to better manage Indonesia’s agricultural residue.

​

Little research has been done on agricultural residue management in Indonesia, particularly in the regions of West Nusa Tenggara and East Nusa Tenggara. The objectives of this study are to identify the main types of agricultural residue, estimate the volume produced, and determine best practices for management in West and East Nusa Tenggara. This study was conducted in two major steps: analysis of existing data and data collection through interviews. Using data from Badan Pusat Statistik and scientific studies on crop-to-waste ratios, this study found that 2,994,808 tons of rice residue and 1,470,944 tons of corn residue are produced each year in West and East Nusa Tenggara. West Lombok and Central Lombok were identified as the main producers of rice residue.

Abstract 2

Biomassa Indonesia: Pakai Lagi

by Stephanie O'Gara, Fulbright & Columbia University

 

Indonesia, bangsa kepulauan terbesar dunia dengan lebih dari 260 juta penduduk yang tersebar di lebih dari 17.000 pulau, menyuguhkan tantangan menarik bagi ahli lingkungan. Sejalan perkembangan ekonominya, penduduk Indonesia menikmati akses listrik dan transportasi modern lebih besar, tetapi dampak lingkungannya amat parah. Sepanjang dekade lalu, emisi gas rumah kacanya melebihi dua kali lipat, dan kota-kota besarnya tetap menempati rangking terburuk dunia dalam kualitas udara. Penduduk berpendapatan rendahnya cukup rentan terhadap dampak lingkungan tersebut karena banyak yang bergantung pada siklus hujan tetap untuk panenannya dan sering membakar ladang, yang mengeluarkan gas berbahaya, sesudah panen. Satu cara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, membatasi polusi udara, dan memberdayakan komunitas pedesaan adalah mengurus limbah pertaniannya dengan baik. Penelitian kecil ini dilakukan atas manajemen limbah pertanian, khususnya di daerah Nusa Tenggara Barat dan Timur. Tujuan kajiannya mendapatkan jenis utama limbah pertanian, memperkirakan volumenya, dan menentukan praktek terbaik untuk manajemen daerahnya. Kajiannya dilaksanakan dalam dua langkah: analisis data yang ada dan yang dikumpulkan dari wawancara.

 

Dengan data dari BPS dan kajian ilmiah mengenai rasio panen-hingga-limbah, ditemukan sebanyak 2.994.808 ton limbah padi dan 1.470.944 limbah jagung tiap tahun di NTB dan NTT. Lombok barat dan tengah merupakan penghasil utama limbah padi.

From God or Human?

The Relationship between Natural Disaster Planning and Environmental Conservation in Indonesia
by Chloe King, George Washington University

 

Indonesia, situated in the “ring of fire,” one of the most geologically active regions in the world, is prone to a wide range of natural disasters: volcanic eruptions, earthquakes, tsunamis, landslides, flooding, and drought are all regular occurrences in Indonesian life. The causes of many of these natural disasters also make Indonesia one of the most environmentally productive regions in the world, with nutrient-rich soil and coral reefs lush with fish, and for generations Indonesian people have thrived off these resources. However, both the unpredictability of the landscape and the seemingly boundless riches have combined to create an impossible dilemma: Indonesia is facing some of the fastest rates of environmental destruction in the world, perpetrated by its own population, and there is no solution in sight.

 

This essay seeks to examine how these two concepts, natural disaster planning and environmental conservation, are intertwined, particularly around the concept of “pasrah,” or surrender to God. Purposive and snowball sampling techniques targeted key stakeholders among local communities in Salatiga, Central Java. Data were collected through in-depth interviews, surveys, and daily participant observation over eight weeks in the summer of 2018. This research finds that the concept of “pasrah” has a significant influence on both natural disaster planning and environmental conservation, and recommends government agencies pay particular attention to this traditional belief going forward.

Dari Tuhan atau dari Manusia?

Hubungan antara Perencanaan Bencana Alam dan Konservasi Alam di Indonesia
by Chloe King, George Washington University

 

Indonesia, terletak di "lingkaran api," salah satu kawasan dunia dengan paling aktif secara geologis, rawan terhadap serangkaian bencana alam: letusan gunung api, gempa bumi, tsunami, tanah longsor, banjir, dan paceklik merupakan peristiwa alami kehidupannya. Penyebab banyak bencana alamnya membuat Indonesia salah satu kawasan dunia yang lingkungan alamnya paling produktif, tanah yang kaya zat hara dan terumbu karang yang kaya akan ikan, dan turun-temurun generasinya hidup dari sumber alam tersebut. Tetapi, baik alam yang tak terduga maupun kekayaan yang tampaknya tanpa batas menciptakan dilema yang mustahil: Indonesia mengalami percepatan tertinggi di dunia dalam perusakan lingkungan, yang dilakukan penduduknya sendiri, dan belum terlihat jalan keluarnya.

 

Esai ini meneliti cara dua konsep, perencanaan bencana alam dan konservasi lingkungan, saling terkait, khususnya seputar konsep "pasrah" or berserah pada Allah. Teknik sampling purposive dan snowball menargetkan pihak utama yang berkepentingan di antara komunitas-komunitas setempat di Salatiga, Jawa Tengah. Data dikumpulkan lewat wawancara mendalam, survei, dan observasi harian peserta selama delapan minggu pada musim panas 2018. Penelitian ini menemukan bahwa konsep "pasrah" berpengaruh signifikan baik dalam perencanaan bencana alam maupun konservasi lingkungan, dan menyarankan perhatian khusus ke depan dari pihak pemerintah mengenainya.

Abstract 3

To Dry or Not to Dry?

Findings From Testings Three Drying Methods in Last Mile Settings

by Lisa Qian, Yale University

 

In President Jokowi’s development policy for smallholder farmer poverty alleviation, he has emphasized value-added production practices. What could this look like in practice? Many agricultural commodities require extensive drying processes, but the traditional method of drying them under the sun is time-consuming, inefficient and contamination-prone. Furthermore, studies have determined that commercially available dryers are too expensive for smallholder farmers (Atheaya, 2017; Kopernik, 2016a). Kopernik, an NGO based in Ubud, has addressed these problems by developing a do-it-yourself solar dryer made from locally available materials, so that farmers anywhere can replicate the design. It has tested the solar dryer for effectiveness by drying three smallholder farmers’ respective copra, cashew and cacao bean productions in Eastern Indonesia (Kopernik, 2016b, 2017a, 2017b, 2017c, 2017d). This paper seeks to determine the extra income these three farmers could earn by using the solar drying technology. Through interviews with the farmers, review of academic agriculture literature, and analysis of the solar dryer effectiveness experiment results, six factors were identified that would allow the farmers to increase their incomes by up to 240%: increased capacity for drying crops, ability to dry crops during the rainy season, wages earned by working with the time saved from decreased drying time, value-added processing, decreased drying operating costs and increased commodity quality. This paper has wide implications for smallholder poverty alleviation across Indonesia. Farmers anywhere can apply this six-factor framework to their local contexts to determine the economic impact of solar drying technology for them.

Keringkan atau Tidak?

Hasil Penemuan dari Pengujian Tiga Macam Cara Pengeringan di Pengaturan Mil Terakhir

by Lisa Qian, Yale University

 

Kebijakan pembangunan Presiden Widodo untuk pengentasan kemiskinan petani penggarap menekankan praktek produksi tambah-hasil. Bagaimana penerapannya? Banyak komoditas pertanian membutuhkan proses pengeringan ekstensif, tetapi metode tradisional menjemur boros waktu, tidak efisien dan rawan-kontaminasi. Apalagi, beberapa kajian telah menunjukkan bahwa pengering komersial yang ada terlalu mahal bagi petani penggarap (Atheaya, 2017; Kopernik, 2016a). Kopernik, LSM di Ubud, menghadapi permasalahan tersebut dengan mengembangkan pengering tenaga surya rakitan sendiri dari bahan-bahan setempat, sehingga petani di mana pun bisa meniru rancangannya. Keefektivan pengeringnya sudah teruji dalam mengeringkan produksi kopra, biji mete dan biji coklat dari tiga petani penggarap di Indonesia Timur. Makalah ini menunjukkan pendapatan tambahan bisa diperoleh dengan teknologi pengeringnya. Melalui wawancara dengan mereka, tinjauan tulisan pertanian ilmiah, dan analisis hasil percobaan efektivitas pengering tenaga surya, enam faktor yang didapatkan memungkinkan petaninya meningkatkan pendapatannya hingga 240%: kemampuan pengeringan panen yang meningkat, kemampuan pengeringan di musim hujan, upah yang diperoleh selama waktu pengeringan yang lebih singkat, proses tambah-hasil, biaya operasional pengeringan yang menurun dan kualitas komoditas yang meningkat. Makalah ini memiliki implikasi luas untuk pengentasan kemiskinan petani penggarap seluruh Indonesia. Petani di mana pun bisa menyesuaikan kerangka kerja enam-faktor ini pada keadaan setempatnya untuk  menentukan dampak ekonomis teknologi pengeringan surya bagi mereka.

Abstract 4

When There is No State

Decentralization, Industrialization Strategy and Social Exclusion In West Papua, Indonesia

by Dr. Francisia SSE Seda, University of Indonesia

 

The processes of decentralization specifically, the Special Autonomy for Papua (Otsus Papua), has relatively not decreased the social exclusion processes experienced by the local marginalized communities surrounding the BP Tangguh LNG Project in the District of The Bay of Bintuni, West Papua. The relationship between decentralization, industrialization strategy, and marginalized groups in the surrounding areas of The BP Tangguh Project, District of Bintuni Bay, West Papua, has shown that the MNC has indirectly taken over the role and responsibility of the local state. This is based on several evidences based on joint field research on October 2010 conducted by  The University of Cenderawasih and The University of Indonesia made possible by The National Collaborative Research Fellowship, The Ministry of Education, Republic of Indonesia. The research method is based qualitative approach and the data collection technique is in depth approach with key informants. The research explaines several key causal factors and suggests several solutions.

 

Key concepts: social exclusion, social inclusion, redistributionist discourse, social integrationist discourse, local identity, local state, collective action, developmental state, predatorial state.

Kalau Negara Tidak Hadir

Strategi Industrialisasi, dan Eksklusi Sosial di Papua Barat, Indonesia

by Dr. Francisia SSE Seda, University of Indonesia

 

Proses Desentralisasi khususnya, Otonomi Khusus Untuk Papua, secara relatif belum menurunkan berbagai proses eksklusi sosial yang telah dialami oleh berbagai komunitas lokal yang termarjinalisasikan di sekitar Proyek LNG BP Tangguh, Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. Relasi antara desentralisasi, strategi industrialisasi, dan kelompok kelompok marjinal di sekitar Proyek LNG BP Tangguh, Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat, telah menunjukkan bahwaa Perusahaan Multinasional tersebut secara tidak langsung telah mengambil alih berbagai peran dan tanggung jawab dari Pemerintah Lokal. Temuan ini berlandaskan beberapa data lapangan sebagai hasil penelitian bersama pada Oktober 2010 yang diselenggarakan atas kerjasama Universitas Cenderawasih dengan Universitas Indonesia yang didanai oleh Hibah Riset Kolaboratif Nasional, Kementerian Pendidikan, Republik Indonesia. Metode Penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan tehnik pengumpulan data melalui wawancara mendalam dengan para informan kunci. Penelitian ini menjelaskan beberapa faktor penyebab dan memberikan beberapa saran untuk solusi yang bisa diambil.

​

Konsep konsep kunci: eksklusi sosial, inklusi sosial, diskursus redistribusionis, diskursus integrasionis sosial, identitas lokal, pemerintah lokal, tindakan kolektif, negara developmentalis, negara predatoris.

Abstract 5

A Tale of Two Subsiding Cities

Jakarta and Semarang and the Intercultural Politics of Resilience

by Dr. Simon Richter, University of Pennsylvania

 

Thanks to a NY Times article in December 2017, Jakarta has become the global icon of out-of-control subsidence and the impending future of other coastal cities in the Global South. A more recent BBC Indonesia feature hyped up the already stupefying figures of up to 15-18 cm per year in North Jakarta, provided by the Dutch water management consultancy Deltares, to an inflationary 25 cm per year. The background for these articles is the decision by Indonesia to scrap plans to build the controversial Great Garuda Sea Wall Project, which was the cornerstone of the NCICD (National Capital Integrated Coastal Development). Less well known but of equal import for this topic is the Central Java coastal city of Semarang, which is also subsiding at a rate more or less similar to Jakarta. In contrast to Jakarta, where the Dutch-Indonesian MOU has provided the umbrella for planning and action, Semarang emerged as the first Indonesian city to win recognition under the Rockefeller Foundation 100 Resilient Cities Program, even while, on a more local level, the city partnered with a Dutch district water authority (Hoogheemradschap Schiedam en Krimpenerwaard) to create a polder and “kaki kering untuk semua” in a low income area.

​

In the meantime, Jakarta also attained 100 Resilient City status and Semarang was selected as one of three Asian cities for intense design intervention—essentially resilience on steroids—for the Water as Leverage Program sponsored by RVO (Netherlands Enterprise Agency). I argue that within this context Jakarta and Semarang have developed distinct cultural understandings of and approaches to resilience, reflected in the language. In Jakarta, resilience is known as berketahanan, while the city of Semarang opted for ketangguhan. There are advantages and disadvantages to both terms. In Jakarta, connotations of defense and security predominate, and reliance on the root word tahan can signal the desperation of “holding on.” In Semarang, which promotes itself as Kota Tangguh, the approach to resilience is more aggressive and can-do, but the term’s association with disaster preparedness can hinder public acceptance of an expanded meaning. How these terms and their cultural and design possibilities play out in the next ten years will be of great interest in Indonesia and the rest of the world. (My research is based on document analysis in Dutch, English and Indonesian, interviews with stakeholders, and site visits to Jakarta and Semarang in 2017 and 2018.)

Kisah Dua Kota Yang Menurun

Jakarta dan Semarang dan Politik Ketahanan Antarbudaya

by Dr. Simon Richter, University of Pennsylvania

 

Sebab artikel NY Times 2017, Jakarta didaulat menjadi ikon dunia untuk kota pesisir yang mengalami penurunan tak terkontrol dan sebagai masa depan kota serupa di Dunia Selatan. BBC Indonesia terakhir bersemangat memberitakan angka yang tak terbayangkan 15-18 cm per tahun, meningkat ke 25 cm per tahun, dari Deltares, konsultasi manajemen air Belanda. Latar berita-berita tersebut adalah keputusan Indonesia untuk menghapus rencana pembangunan Proyek Tembok Laut Garuda Perkasa, yang merupakan landasan Pengembangan Terpadu Pesisir Ibukota Negara (PTPIN). Tidak seterkenal tetapi cukup penting untuk topik ini adalah kota Jawa Tengah, Semarang, yang juga menurun di tingkat yang kurang lebih seperti Jakarta. Dibandingkan Jakarta, tempat MOU Belanda-Indonesia menyediakan payung perencanaan dan pelaksanaan, Semarang menjadi kota pertama Indonesia yang mendapat pengakuan termasuk Jaringan 100 Resilient Cities dari Yayasan Rockefeller, bahkan, di tingkat setempat, Semarang bermitra dengan dinas air kawasan Belanda (HSK) untuk menciptakan polder dan "kaki kering untuk semua" di daerah kurang mampu.

​

Sementara itu, Jakarta juga memperoleh status 100 Resilient City dan Semarang terpilih sebagai satu dari tiga kota Asia untuk intervensi rancang intes--pada dasarnya ketahanan dengan tunjangan--untuk Program Air sebagai Pengungkit yang disponsori RVO (Agen Perusahaan Belanda). Saya berpendapat bahwa dalam konteks ini Jakarta dan Semarang telah mengembangkan pemahaman budaya dan pendekatan khusus terhadap ketahanan, yang tercermin di istilahnya. Di Jakarta, resilience disebut  'ketahanan', sementara di Semarang, 'ketangguhan'. Terdapat kelebihan dan kekurangan dari kedua istilahnya. Di Jakarta, konotasi pertahanan dan keamanan menonjol dan ketergantungan pada kata dasar 'tahan' bisa menunjukkan keputusasaan 'bergantung pada.' Di Semarang, yang berpromosi diri sebagai Kota Tangguh, pendekatan ke resilience lebih agresif dan dapat-melakukan sesuatu, tetapi kaitan istilahnya dengan kesiapan menghadapi bencana bisa menghalangi penerimaan masyarakat akan makna yang luas. Cara kedua istilah dan kemungkinan budaya dan rancangnya terlaksana dalam sepuluh tahun ke depan menarik minat Indonesia dan dunia. (Penelitian saya didasarkan pada analisis dokumen dalam bahasa Belanda, Inggris dan Indonesia, wawancara dengan pihak-pihak berkepentingan, dan kunjungan lokasi di Jakarta dan Semarang tahun 2017 dan 2018.)

Abstract 6

The Truth Will Set You Free

Intentionality and Emergent Scales in the 2017 Jakarta Gubernatorial Election

by Moniek J. van Rheenen, University of Michigan, Ann Arbor

 

On May 9, 2017, the incumbent governor of Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, was convicted on blasphemy charges and sentenced to two years’ imprisonment. During the 2016 campaign period, the minority Chinese-Christian governor was accused of blaspheming against Islam in a speech about infrastructure and the fishing industry, in which he made reference to a Quranic verse frequently used against him by Muslim political opponents. The public video was reposted on Facebook and circulated virally, inciting mass political demonstrations by paramilitary Islamic groups and sparking a national debate over the governor’s ethnic and religious legitimacy as a political ruler. Was blasphemy really what was on trial? How does the production, consumption, and circulation of media create affective responses across boundaries?

​

I argue that an explanation of intentionality consonant with the legal language of blasphemy in Indonesia is ineffective. Rather, it is the uptake and interpretation of the citation of the Quranic verse by a larger Indonesian audience that constitutes the utterance as blasphemous. To demonstrate the broader effects of uptake and interpretation, I conduct a semiotic analysis of a political Facebook post shared by a resident of Pekanbaru, Indonesia. In this case, the circulation of sociopolitical discourse through online media acts as a means for reproducing shared feeling and experience on a magnitude greater than just face-to-face interaction of a group socially situated in a particular time and space. Although geographically, socially, and politically removed from the capital, people in Pekanbaru "buy into" and actively participate in metapragmatic discourses that render the tension of Jakarta politics into national ideological stances on Indonesian-ness, Muslim-ness, and political legitimacy.

Kebenaran Akan Membebaskanmu

Kesengajaan dan Kemunculan Skala pada Pemilihan Gubernur Jakarta 2017

by Moniek J. van Rheenen, University of Michigan, Ann Arbor

 

Pada 9 Mei 2017 gubernur petahana Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, didakwa menghujat agama dan dihukum dua tahun penjara. Selama masa kampanye 2016, gubernur minoritas Tionghoa-Kristen itu dituduh menghujat agama Islam dalam pidatonya mengenai infrastruktur dan industri ikan, yang di dalamnya dia mengutip ayat Quran yang sering digunakan untuk menyerang oleh lawan politik Muslimnya. Video umum berkali dipasang di Facebook dan beredar viral oleh kelompok Islam paramiliter untuk menghasut demostrasi politis massa dan memicu perdebatan nasional mengenai legitimasi etnik dan agama gubernurnya sebagai pemimpin politik. Benarkah penghujatan yang dipersidangkan? Bagaimana produksi, konsumsi, dan sirkulasi media menciptakan tanggapan afektif lintas banyak batas?

​

Saya berpendapat bahwa penjelasan konsonan kesengajaan dengan bahasa hukum penghujatan di Indonesia tidak ampuh. Hal itu malah merupakan serapan dan interpretasi kutipan ayat Qurannya oleh banyak hadirin Indonesia yang merupakan ujaran menghujat. Untuk menunjukkan efek luas serapan dan interpretasinya, saya mengadakan analisis semiotik mengenai postingan politis di Facebook oleh penduduk Pekanbaru, Indonesia. Dalam hal ini, sirkulasi wacana sosiopolitis lewat media daring berlaku sebagai alat untuk mereproduksi perasaan dan pengalaman umum yang jauh lebih besar dari interaksi tatap muka semata kelompok yang bersosialisasi di tempat dan ruang tertentu. Meski secara geografis, sosial dan politik jauh dari ibukota, penduduk di Pekanbaru "percaya" dan secara aktif ikut serta dalam wacana metaprakmatik yang menyumbangkan ketegangan terhadap politik Jakarta ke posisi ideologis nasional akan ke-Indonesia-an, ke-Muslim-an, dan legitimasi politik.

Abstract 7

Dual Economy

Legal Infrastructure of Indirect Rule through Adat, which Divided Government into Multipley Tiers based on Anthropological Concept of Cultural Specificity

by David Borgonjon, Columbia University

 

It is well known that the idea of the “dual economy” derives from scholarship in and around Indonesia. Typically, the intellectual history begins with the work of J.H. Boeke and Jacob van Gelderen, before extending into J.S. Furnivall and Clifford Geertz’s more well-known Anglophone scholarship. Following the work of scholars of the colonial state like Timothy Mitchell, we understand the economic as a domain that historicizes to the early 20th century. Rather than understanding the dual economy as a generalized model, this paper reflects on the ways in which Indies colonial governmentality structured this concept. In particular, we focus on the legal infrastructure of indirect rule through adat, which divided government into multiple tiers based not on racial or civilizational difference but the anthropological concept of cultural specificity. As part of the Ethical Policy, the colonial government concerned itself with the technocratic management of native capitalization; from this perspective, the presence of Chinese intermediary capital was problematic both politically and actuarially. This paper approaches this historiographical question from the perspective of cultural history—in particular, we aim to examine in the early 20th century a painting genre that we might call “market scenes,” idealized images of petty commodity production and exchange in rural spaces, often produced in close relationship to the tourism industry. Ultimately, I seek to ask why the problem that appeared to Boeke and others was that of the “dual economy” rather than that of, say, the “dual polity.” At the same time, we seek to understand the problematic and necessary third term of the foreign Asian within the European/native dichotomy of the “dual economy.” It is possible that aspects of the creation of the economy that have late colonial Indonesian history have reappeared into the present day, such as: the derivation of political legitimacy on developmentalist grounds, the extension of state-sponsored culturalism, forms of economistic (and specifically Sinophobic/philic) racialization, and the continuing public preference for socialized forms of enterprise such as the SME or the cooperative.

Perekonomian Ganda

Legal Infrastructure of Indirect Rule through Adat, which Divided Government into Multipley Tiers based on Anthropological Concept of Cultural Specificity

by David Borgonjon, Columbia University

 

Cukup dikenal bahwa gagasan "ekonomi ganda" diturunkan dari cendekiawan di dan seputar Indonesia. Umumnya, sejarah intelektual dimulai dengan karya J.H. Boeke dan Jacob van Gelderen, sebelum dilanjutkan ke karya terkenal cendekiawan berbahasa ibu bahasa Inggris, J.S. Furnivall dan Clifford Geertz. Mengikuti karya cendekiawan di negara kolonial seperti Timothy Mitchell, kami memahami ekonomi sebagai domain bersejarah hingga awal abad ke-20. Daripada memahami ekonomi ganda sebagai patokan umum, makalah ini menunjukkan beberapa cara kepemerintahan kolonial Hindia membentuk konsep ini. Khususnya, kami berfokus pada infrastruktur hukum peraturan tidak langsung lewat adat, yang membagi pemerintah menjadi beberapa lapisan yang tidak berdasarkan perbedaan rasial atau peradaban tetapi konsep antropologis kekhususan budaya. Sebagai bagian Kebijakan Etis, pemerintah kolonial lebih memerhatikan manajemen teknokratis kapitalisasi orang asli; dari sudut padang ini, kehadiran modal perantara orang Cina bermasalah secara politis dan aktuaris. Makalah ini mendekati pertanyaan historiografis ini dari sudut pandang sejarah budaya--khususnya, kami bertujuan membahas jenis lukisan yang bisa disebut "adegan-adegan pasar," di awal abad ke-20, yang mengidealkan citra produksi komoditas kecil dan pertukaran di ruang pedesaan, yang sering dihasilkan dalam hubungan erat dengan industri pariwisata. Akhirnya, kami mempertanyakan alasan munculnya masalah tersebut yang bagi Boeke dan lainnya sebagai "ekonomi ganda" daripada, katakanlah, "pemerintahan ganda." Seiring dengannya, kami mencoba mengerti istilah ketiga yang problematis dan penting mengenai orang Asia asing dalam dikotomi Eropa atau orang asli mengenai "ekonomi ganda." Mungkin bahwa aspek-aspek penciptaan ekonomi yang bersejarah akhir Indonesia kolonial muncul kembali hari ini, misalnya: turunan legitimasi politis yang berdasar pada pikiran pakar pembangunan, perpanjangan kulturalisme dukungan negara, bentuk-bentuk rasialisasi ekonomistis (dan khususnya sinofobis/philic), dan pilihan masyarakat yang terus untuk bentuk-bentuk usaha sosial seperti UKM (Usaha Kecil dan Menengah ) atau koperasi.

Abstract 8

Papua under Jokowi

The Perils of Prosperity

by Arie Ruhyanto, University of Gadjah Mada

 

This paper argues that while the state-building has reinforced state visibility in Papua, the state legitimacy remains weak. Instead of strengthening the state’s legitimacy, the state- building process and its consequences have reinforced the undermining of state legitimacy. The campaign for self-determination and independence of Papua have gained more traction in the domestic as well as the international audiences. At least three factors crucial to this situation: first, the state-building in Papua is constraint by its logic of development, hence limiting the scope. Second, the lack of governance performance and its inability to generate public trust. Third, the unintended consequences brought by the state-building processes to the social cohesion. This paper highlights the need to revisit and reorient the direction of state building as to facilitate more genuine state-society relations in Papua.

Papua di Bawah Jokowi

Bahaya dari Pendekatan Kemakmuran

by Arie Ruhyanto, University of Gadjah Mada

 

Makalah ini menegaskan bahwa meskipun upaya state-building telah memperkuat kehadiran negara, namun legitimasi negara di Papua masih tetap lemah. Alih-alih memperkuat legitimasi negara, proses state-building dan konsekuensinya telah mendorong pelemahan legitimasi negara. Indikasinya adalah kampanye referendum dan kemerdekaan Papua semakin intensif baik di dalam maupun di luar negeri. Paling tidak ada tiga faktor yang krusial yang mempengaruhi situasi ini: pertama, state-building di Papua terkurung dalam logika sempit pembangunan sehingga membatasi ruang lingkupnya. Kedua, lemahnya kinerja pemerintahan dan ketidakmampuan untuk membangkitkan kepercayaan publik. Ketiga, adanya unintended consequences dari proses state-building yang berdampak negative terhadap kohesi sosial. Paper ini menggarisbawahi urgensi untuk meninjau kembali arah dan strategi state-building untuk menciptakan hubungan yang lebih harmonis antara negara dan masyarakat di Papua.

Abstract 9

Globalization Jokowi Style

A bit of Nationalism Here and a bit of Foreign Investment There

by Dr. Shaianne Osterreich, Ithaca College

 

Jokowi’s presidency began as the Indonesian economy was working through the end of a lengthy commodities bubble which had boosted Indonesian natural resource exports including palm oil, coal, and rubber. At the same time, the US Federal Reserve was planning to end quantitative easing, which was feared to have the effect of re-directing global investor attention away from the global south and back to Wall Street. Income inequality was only getting worse, and Jokowi now had to make good on his promises to dramatically reverse this trend.  Nearing the end of his first term, Jokonomics is facing a lot of scrutiny. Some consider his range of economic policies to be ad-hoc, inward looking and overly affected by attempts to appeal to his coalition. On the other hand, some of his policies are criticized from the other direction, suggesting that he has been dangerously over-reliant on foreign investment. This presentation will discuss these arguments alongside the question of whether Jokowi is making progress towards equitable growth.

Globalisasi Versi Jokowi

Di Sini Nasionalisme, Di Sana Investasi Asing

by Dr. Shaianne Osterreich, Ithaca College

 

Kepemerintahan Jokowi dimulai saat perekonomian Indonesia menjalani penghujung gelembung komoditas yang panjang yang mendorong ekspor sumber daya alam Indonesia termasuk minyak sawit, batu bara, dan karet. Bersamaan dengannya, Bank Sentral Amerika Serikat berencana mengakhiri pelonggaran kuantitatif, yang ditakutkan akan berdampak mengalihkan kembali perhatian penanam modal dari Global South ke Wall Street. Ketidaksetaraan pendapatan malah memburuk dan Jokowi harus memperbaiki keadaan berdasarkan janji-janjinya untuk memutarbalik tren ini. Menjelang akhir masa kepresidenan pertamanya, Jokonomics menghadapi banyak kritikan. Beberapa menganggap cakupan kebijakan ekonominya ad-hoc, terlalu nasionalistis dan terlalu terpengaruh usaha-usaha yang menarik koalisinya. Di sisi lain, beberapa kebijakannya dikritik dari arah lain, mengisyarakatkan Jokowi bermain api karena ketergantungan berlebihan pada investasi asing. Presentasi ini akan membahas argumen-argumen tersebut dan pertanyaan apakah Jokowi membawa kemajuan ke arah pertumbuhan yang adil.

Abstract 10
bottom of page